Tentang Kerja Jarak Jauh (Remote Working)
Bagaimana menurutmu tentang kerja remote? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sering ditanyakan dan didiskusikan belakangan ini. Tentu konteks dari diskusinya adalah pekerjaan di industri Startup Technology dan khususnya di bidang Engineering (Software Engineer, Designer, etc).
Menurut pendapat saya pribadi, tren remote working sangat berkembang beberapa waktu ini karena memang secara teknis seseorang atau perusahaan untuk bisa menerapkan remote working jauh lebih dimungkinkan daripada misalkan 10 tahun yang lalu. Banyak tools yang ada untuk menunjang efektifnya remote working. Sebagai contoh: internal chat communications, video call conference, online project management tools, dan juga centralised document sharing. Ditambah dengan makin membaiknya infrastruktur dasar seperti akses internet yang semakin cepat.
Akan tetapi, banyak pertimbangan ketika suatu perusahaan ingin menerapkan apakah bisa perusahaannya mengadopsi remote working ataupun tidak. Begitu pula dari sisi pekerja, apakah lebih suka remote working atau lebih suka on-site.
Kalau misalnya saya ditanya : apakah kamu menganjurkan perusahaan atau individu untuk melakukan remote working?
Maka jawaban saya akan sangat klise : it depends. alias tergantung.
Sebelum kita jump-in ke kesimpulan, kita coba break down dulu tipe-tipe remote working yang ada :
- Full Remote. Artinya, semua orang di dalam perusahaan ini remote tanpa ada yang berkantor sama sekali.
- Hybrid. Artinya, tidak semua orang di dalam perusaahan ini boleh remote, hanya ada sebagian orang saja yang remote sedangkan sisa-nya di office.
- Special Case. Artinya, individu boleh remote sekali-sekali apabila ada kebutuhan untuk remote. Misalnya ada kebutuhan urgent di luar kota, atau misalnya sedang tidak fit, dll.
Mari coba kita bahas satu-persatu.
Full Remote
Untuk jenis Full Remote, sudah cukup banyak perusahaan (khususnya perusahaan teknologi modern) menerapkan ini dan sukses. Terutama apabila kebijakan atau kultur remote sudah dilakukan sejak day one dari perusahaan tersebut, dan di-enforce oleh semua founders nya. Tentu-nya konsekuensi yang mesti dilakukan adalah: semua komunikasi perlu menggunakan tools. Semua jenis pekerjaan baik yang bersifat diskusi ataupun hasil delivery, perlu segera di-”upload” agar bisa dilihat oleh teman kerja kita.
Pros :
- Secara individu team akan terasa lebih bebas, tidak perlu ada tanggungan untuk pergi ke “kantor”.
- Hasil delivery kerjaan relatif jelas, karena semua hasil harus diupload agar bisa dilihat.
- Semua context percakapan cenderung “tercatat”, karena semua dilakukan melalui tools online yang otomatis mencatat semua log pembicaraan.
- Bisa bekerja dengan teman dari berbagai lokasi geografi. Untuk masalah “hiring”, ada keuntungan juga karena tidak terbatas dengan lokasi.
Cons :
- Tidak cocok untuk jenis-jenis perusahaan tertentu, terutama yang memerlukan gagasan secara spontan dan perusahaan tersebut melakukan pekerjaan yang secara fundamental belum pernah dilakukan perusahaan lain sebelumnya (misal: membuat pesawat luar angkasa dengan terobosan terbaru).
- Tidak cocok apabila ada anggota team atau apalagi management, yang tidak terbiasa menulis (baik internal chat, centralise document, dll). Dalam hal ini, anggota team tersebut akan terlihat sangat pendiam dan ide-ide nya tidak tersampaikan dengan baik.
- Menyampaikan context (context passing) akan memerlukan effort yang lebih ke semua orang. Terutama ketika kita perlu untuk menyamakan emosi dalam penyampaiannya.
- Perlu extra effort dan encouragement untuk menumbuhkan ownership dari masing-masing individu terhadap company dan juga agar individu tidak merasa kesepian di day-to-day kerjaannya.
Hybrid
Dari ketiga tipe yang dibahas di artikel ini, bisa dibilang tipe ini (secara mengejutkan) adalah tipe yang paling susah sukses. Bahkan dibandingkan tipe pertama (Full Remote). Hal ini dikarenakan kecenderungan adanya standar yang berbeda antara mereka yang kerja remote dibanding yang onsite. Alih-alih sistem ini bisa bekerja untuk keduanya (onsite maupun remote), seringkali sistem ini malah bisa menyebabkan tidak bekerja untuk keduanya.
Hal yang sering tidak dilihat adalah, banyak orang yang sebenarnya kesulitan untuk bisa bekerja dengan yang remote (justru mayoritas seperti ini biasanya). Memaksakan jenis orang tersebut bekerja dengan orang yang remote, akan menyebabkan ketidak nyamanan untuk keduanya, dan hasil deliverable juga tidak akan maksimal. Untuk menilai kesulitan atau tidak pun juga tidak mudah. Kadang orang tidak sadar kalau dia sebenarnya kesulitan apabila bekerja dengan yang remote, sebelum sampai benar-benar dicoba dan diberikan pressure terhadap suatu deliverable dengan kemudian dibandingkan apabila dia bekerja dengan tim yang on-site semua.
Hybrid perlu sangat hati-hati dilakukan apalagi kalau definisi sukses kita tidak sekedar anggota tim suka terhadap kebijakan remote, akan tetapi capaian bisnis dan quality of deliverable juga harus tetap diutamakan.
Pros :
- Semua hal positif yang ada di Full Remote apabila dilakukan dengan pas.
Cons (apabila tidak dilakukan dengan pas):
- Context bisa jadi hanya secara partial ter-deliver ke anggota team. Misalnya, banyak info-info yang hanya dimiliki oleh mereka yang on-site dan tidak tersampaikan ke mereka yang remote. Sebagai contoh ada diskusi offline yang secara spontan dilakukan dan tidak dituliskan sama sekali di internal chat.
- Kesulitan bekerja sama apabila anggota tim yang remote bekerja dengan yang anggota tim yang tidak bisa bekerja secara remote. Komunikasi akan sulit untuk lancar.
- Penilaian ataupun review performance yang cenderung tidak fair terhadap anggota team.
- Apabila infrastruktur dasar seperti koneksi internet dan listrik tidak stabil, akan sangat susah untuk berjalan dengan baik.
- Kadang kebijakan remote hybrid bisa menjadi dianggap tidak jelas dan menimbulkan masalah.
- Seringkali untuk time-critical project, apalagi yang output resultnya masih belum well-defined, akan sangat susah semua bisa bekerja sama dengan efektif.
Special Case
Mungkin jenis ini yang paling banyak dijalankan oleh perusahaan. Sebenarnya jenis ini sama halnya dengan tidak memperbolehkan remote working. Jadi remote working hanya diperbolehkan cuma beberapa kali saja tergantung dengan case special yang sedang dialami.
Biasanya di perusahaan dengan arrangement seperti ini, kondisi remote dilakukan ketika sedang tidak banyak kerjaan, atau misal sedang tidak memerlukan interaksi dengan banyak orang. Contoh lain, ketika sedang banyak tugas yang sudah jelas goalnya, dan “tinggal dikerjakan” saja. Sehingga selama proses pengerjaan itu bisa dilakukan sambil remote.
Apabila ada masalah atau kendala yang cukup besar selama remote working, akan cenderung mempunyai mindset untuk menyelesaikan problem tersebut besok ketika semua on-site. Karena memang default-nya adalah on-site untuk semua orang.
Pros :
- Perusahaan masih terkesan fleksibel terhadap kebutuhan timnya.
- Context dan information bisa terdeliver lebih mudah seperti halnya full on-site.
- Ketika semua on-site, bisa diharapkan koordinasi bisa lebih cepat dan optimal.
Cons :
- Tidak semua percakapan akan tercatat. Karena akan banyak diskusi offline yang terjadi.
- Hanya bisa merekrut tim dengan batasan geografi tertentu.
- Saat remote hampir pasti akan “slow down” dikarenakan memang system kerja tidak didesign untuk bisa berjalan remote secara optimal.
—
Dari pembahasan di atas, apabila kita kembali ke pertanyaan, apa pendapat saya tentang remote working? Maka jawabannya adalah tergantung dengan jenis perusahaan dan individu-individu yang ada di dalamnya, tentu juga tergantung misi dari management perusahaan tersebut. Mana yang kira-kira paling cocok untuk Anda dan perusahaan Anda?